Trend atau issue dalam keperawatan
jiwa adalah masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap
penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang
akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global.
Adapun salah satu trend dan
issue penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa, yaitu: meningkatnya post traumatik sindrom.
Sebagai
contoh, saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang
terpapar dengan kejadian Traumatis baik yang mengalami, menyaksikan
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya
dan mereka yang cedera serta yang dalam ancaman terhadap integritas fisik diri
sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa rasa takut yang kuat serta
tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang mereka hadapi akan dieksperikan dengan
perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari.
Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang
terjadi), pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana
alam, (gempa dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha
untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti
yang disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan
Lv serta Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia
menyatakan, gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia yang invalid
dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir penderita ini
akan menjadi tidak produktif, sehingga mereka menjadi manusia yang tanpa alasan selalu
berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip, terutama terhadap kekerasan
yang sebenarnya tidak akan terjadi. Mereka juga menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara
berulang-ulang. Akibatnya, tidur yang seharusnya akan
membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada dalam kondisi depresi.
Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-akan kejadian traumatis
itu terjadi kembali, termasuk pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas
balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai
memahami bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat
individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan
sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi
kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di
Indonesia, kompleksitas sosial dan kultural sangat penting mengingat bahwa
masyarakat telah mengalami dan menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak
berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang
trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang bersifat
personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami bencana
di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah
mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena
direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam
periode yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan
mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan
tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk
ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai transference.
Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi dari
orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada
orang lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh
bahwa psikoanalis juga dapat mengalami proses transference saat ia
secara tak sadar melakukan identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori
Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan
bahwa transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga
yang melakukan wawancara dengan korban.
Kesimpulan:
Meningkatnya post traumatik sindrom, adalah salah satu Trend dan Issue Neurobehavior yang ada dibidang
pelayanan. Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik,
yaitu trauma diluar rentang yang
umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari, seperti peperangan, pemerkosaan maupun bencana alam yang cenderung akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk
tidak mengalami stress yang sedemikian.
Trauma
muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan ini menyebabkan mereka
akan tampak seperti orang yang yang ketakutan dan depresi bahkan selalu merasa takut
bahwa peristiwa tersebut akan terjadi kembali dalam kehidupan mereka. Karena
trauma tersebut juga dapat menguncang psikologis seseorang yang menganggap
peristiwa tersebut sebagai suatu pengalaman yang buruk sehingga terbawa ke alam
mimpi yang mengganggu istirahat-tidur, bahkan sering berhalusinasi. Berhalusinasi merupakan salah satu pemicu
kelainan Neurokognitif.
Oleh karena itu,
sebagai perawat dalam melakukan tindakan keperawatan pada orang dengan trauma
berat, harus benar-benar memahami teori trauma dimana seorang perawat harus
dapat memahami bagaimana perasaan seseorang yang mengalami peristiwa itu secara
langsung serta memahami tentang kemampuan Neurokognitifnya.